Jumat, 29 Mei 2015

CERPEN (CHERRY BLOSSOM TO LOVE)



Suara bising seketika menyergap telingaku saat kakiku menginjak pelataran bandara paling sibuk di Jawa Timur ini. Dijam-jam seperti ini memang membuat bandara tak ubahnya seperti pasar kaget. Sopir taksi yang kunaiki cekatan menurunkan barang bawaanku saat aku sudah keluar dari dalam taksi. Lantas menerimanya, membayar biaya taksi, dan langsung menghilang ditengah kerumunan para pelancong di Bandara tersebut. Beberapa waktu terakhir ini, bepergian menggunakan pesawat terbang sangat diminati oleh masyarakat. Alasannya, karena kecepatan waktu tempuh dan kenyamanan pelayanan. Sehingga banyak maskapai yang berlomba-lomba menawarkan biaya terbang yang terjangkau bagi kalangan menengah.  
Aku menyeret koperku ke gerbang pemeriksaan, lantas menyerahkannya pada petugas. Dan pergi kebagian imigrasi untuk pemeriksaan. Pesawatku akan take off pada pukul 10.00 WIB. Tapi sekarang masih pukul 09.00 WIB, masih tersisa 1 jam sebelum aku terbang. Aku memutuskan untuk pergi ke cafe yang ada di Bandara. Memesan beberapa kudapan ringan dan juga kopi hangat. Sebenarnya sebelum berangkat, aku sudah mengisi perut sampai kenyang. Maklum aku adalah tipikal orang yang peduli dengan aktivitas makan sebelum bepergian. Selain karena aku mempunyai riwayat penyakit asam lambung, akan jadi perjalanan yang buruk kalau sampai aku tiba-tiba diserang rasa pusing dan mual.
Saat sedang asyik menikmati kudapan ringan ku, tiba-tiba ponsel ku berbunyi menandakan ada panggilan masuk. Dengan sigap, aku meraih ponsel yang teronggok disamping piring diatas meja. Melihat siapa yang menelpon dan segera berseru riang tertahan saat pertama kali ponsel itu menempel ditelinga.
            “Hai, Mut. Ada apa nelpon?”
            “Kamu itu ditelpon sama sahabatnya, kok hanya tanya ada apa?” Terdengar suara diseberang sana menghela kecewa.
            “Terus aku aku harus bagaimana?, kamu sih tidak mengantarku ke Bandara” Aku menghela napas tak kalah kecewa.
            “Iya nih si Bos mendadak memberiku setumpuk laporan yang harus kuselesaikan hari ini, maaf ya darling”.
            “Mau minta oleh-oleh apa?” Tanyaku menawarkan.
            Nah, harusnya dari tadi kamu bilang kalimat itu, ehm........” Terdengar sedang berpikir.
            “Kalau aku minta dibawakan cowok-cowok yang tampan, bisa?”.
            “Bisa, tapi nanti langsung aku akan telpon si Rama, bilang kalau pacarnya centil minta dibawakan cowok-cowok yang tampan”.
            “Kamu ini memang tidak bisa diajak becanda ya”.
            “Lagian, kamu itu ada-ada saja, jangan lupa sering-sering telpon aku ya, pasti sepi tidak ada kamu” Suaraku memelas.
            “Huh, iya ya, kenapa juga pak Bos tidak memberiku ijin cuti. Seandainya bisa kan kita bisa pergi bersama”.
            Mutia adalah sahabatku yang paling aku sayang. Kita sudah bersahabat sejak duduk dibangku kuliah. Kemanapun aku pergi, pasti disitu juga ada Mutia. Sahabatku ini cantik, pintar, dan baik. Dia juga sudah memiliki pacar bernama Rama. Mereka bertemu saat aku dan Mutia studi banding ke salah satu Universitas di Kota kami. Disitu Rama menjadi perwakilan dari Universitas itu untuk menyambut kami. Tak disangka ternyata kabaikan dan ketampanan Rama membuat sahabatku ini jatuh cinta pada pandangan pertama. Setelah berpacaran, mereka adalah pasangan paling romantis di seluruh dunia, kurasa. Bagaimana tidak, Rama sering berkunjung ke kampus kami hanya untuk menemui Mutia. Membuatku kadang merasa iri karena masih menjomblo. Sampai saat ini kisah cinta mereka masih tetap sama.
            Mutia bekerja di salah satu perusahaan terkemuka. Bahkan posisinya sudah dibilang mapan. Ia bekerja sebagai accounting di perusahaan itu. Saat mendengar Mutia diterima di perusahaan itu, ada rasa bahagia dan juga sedih melingkupiku. Jangan ditanya alasanku bahagia karena apa, sudah jelas karena sahabatku sudah diterima bekerja. Namun yang membuatku sedih, karena kami tidak bisa setiap saat bertemu. Ya, aku dan Mutia diterima bekerja di kantor yang berbeda walaupun jarak antara kantor kami hanya dipisahkan oleh dinding. Memang kantorku dan Mutia bersebelahan dan membuat kami hanya bertemu saat makan siang ataupun janjian pulang bersama. Mengingat persahabanku dengan Mutia, aku sampai lupa kalau dari tadi aku dan Mutia masih berbicara di telepon.
            “Akira, kamu masih disana?”.
            “Oh, iya Mut, sudah dulu ya, aku mau masuk kepesawat. Sebentar lagi mau berangkat”.
            “Ya sudah, aku do’ain kamu selamat sampai disana, baik-baik disana ya. Bye”.
            Mutia telah menutup telepon. Aku bergegas menghabiskan kudapan ringan dan kopiku. Lantas berjalan menuju pesawat karena tidak terasa sudah hampir pukul 10.00. Aku mempercepat langkahku, berjalan menerobos keramaian bandara. Hingga tidak sengaja, tubuhku menabrak seseorang. Seorang laki-laki yang juga sedang bergegas karena tidak mau ketinggalan pesawat.
            “Maaf........, saya tidak sengaja” Kataku meminta maaf.
            “Tidak apa-apa, saya juga minta maaf karena terburu-buru” Kata laki-laki itu juga meminta maaf.
            Seketika disekitar kami terdengar alunan lagu romantis bergema diseluruh ruangan bandara. Mengalahkan keramaian lalu lalang orang-orang yang bergegas masuk ke pesawat masing-masing. Kami sama-sama terpesona pada pertemuan perdana ini. Namun, seolah dikembalikan ke dunia nyata, kami sama-sama tersadar dan segera kembali melanjutkan perjalanan kami yang sempat tertunda. Masuk kedalam pesawat segera sebelum dibuat berganti pesawat dan terbang pada penerbangan berikutnya. Yang resikonya terlambat sampai di tempat tujuan.
            Aku berlari-lari panik menuju pesawatku. Saat aku sampai di lorong menuju pintu pesawat. hampir saja pintu pesawatku tertutup. Aku berteriak panik.
            “Tunggu.................” Teriakku dari tengah lorong.
Entah mendengar atau tidak teriakanku tadi. Tapi tiba-tiba pintu pesawat itu berhenti menutup. Thanks God, kataku dalam hati. Secepat kilat aku melesat menuju pintu pesawat yang dijaga pramugari. Sampai dipintu, ternyata dibelakangku juga berdiri seorang laki-laki yang tadi bertabrakan denganku di perjalanan masuk ke pesawat. Ia juga hampir saja tertinggal pesawat sama sepertiku. Bersama-sama kami masuk kedalam pesawat dan diikuti dengan tatapan tajam (kurasa) dari seluruh penumpang yang tengah asyik bersandar di kursi yang nyaman. Aku langsung duduk dikursiku, dan betapa kebetulan mengikutiku, laki-laki yang tadi bertabrakan denganku ternyata duduk satu bangku denganku.
“Hai, ketemu lagi” Sapa laki-laki itu.
“Hai, mau ke Jepang juga?” Tanyaku basa basi padahal sudah jelas pesawat ini akan terbang ke Jepang.
“Iya”.
Mesin pesawat menderu, menandakan keberangkatan pesawat akan segera berlangsung. Pramugari maskapai yang kutumpangi ini segera menjalankan tugasnya yaitu mempraktekkan tentang tata cara menggunakan sabuk pengaman, letak pelampung dan oksigen apabila terjadi keadaan bahaya. Selesai menjelaskan tata cara penerbangan dan siapa pilot dan co-pilot yang sedang bertugas, pramugari tersebut menghilang ke kabinnya. Logisnya untuk bisa tinggal landas, tekanan dibagian bawah pesawat harus lebih besar dibandingkan tekanan diatas sayap pesawat. Hal itu sudah dikemukakan oleh Bernoulli pada berabad-abad yang lalu.
“Oh iya, kita belum kenalan. Namaku Kiki. Kamu?” Mengulurkan tangan.
“Aku Akira”.
“Masih ada keturunan Jepang?, mau pulang kampung?”.
“Tidak, Indonesia asli, urusan pekerjaan, kamu?”.
“Liburan, mau lihat Festival Matsuri dan Hanami”.
“Hanami?, aku baru mendengar ada festival seperti itu”.
“Hanami itu adalah kegiatan piknik yang dilakukan orang Jepang dibawah bunga sakura yang sedang mekar di musim semi”.
“Sepertinya seru” Kataku antusias.
“Kalau kamu ada waktu, boleh kita pergi bersama. Kalau boleh tahu berapa lama kamu di Jepang dan kota mana saja yang kamu datangi?”.
“Sesuai jadwal aku di Jepang selama kurang lebih 2 minggu, sebenarnya pekerjaanku ada di Tokyo, tapi pekerjaan itu akan selesai dalam 1 minggu, selebihnya kantor memberiku dispensasi untuk liburan” Aku nyengir lebar.
“Bagus kalau begitu, kalau kamu mau ikut ke Festival Matsuri dan merasakan Hanami, kita bisa pergi besama-sama. Sebelumnya kamu sudah pernah ke Jepang?”.
“Belum, ini kali pertama. Saat ditugaskan oleh kantor aku langsung mengiyakan saja, dipikir-pikir lumayan bisa menghilang sejenak dari kepadatan kota metropolitan”.
“Ngomong-ngomong, aku boleh minta nomer ponsel mu? Ya supaya nanti aku bisa mengabarimu tempat kita bisa ketemu”.
“Oh iya, boleh. 0819391xxxxx” Aku mendektekan nomer ponselku.
            Penerbangan Surabaya-Jepang seperti tidak terasa. Waktu berlalu begitu cepat. Sejauh ini Kiki adalah teman perjalanan yang seru dan nyambung kalau diajak bicara. Pengetahuannya pun luas. Bahkan tak jarang ada beberapa istilah yang ia gunakan tidak kumengerti. Kami seperti teman lama yang baru bertemu lagi secara kebetulan diatas pesawat, sehingga suasana selanjutnya yang tercipta yaitu keakraban.
            Beberapa jam selanjutnya, akhirnya pesawat mendarat di bandara Internasional Jepang. Bandaranya bagus dan bersih. Itu adalah kesan pertama yang bisa kutangkap. Keluar dari bandara itu, masih sedikit kurasakan angin dingin yang berhembus, namun selebihnya adalah kekaguman akan negara yang satu ini. dengan berat hati, aku kehilangan teman perjalanan yang menyenangkan. Ya, aku dan Kiki berpisah. Aku sudah dijemput oleh pihak kantor tempat diadakannya pertemuan. Sementara Kiki yang disini posisinya sebagai turis, menghilang dan pergi ke destinasi pertama yang ingin ia kunjungi. Tapi tenang saja sebelum kami berpisah, kami sudah sempat mengucapkan selamat tinggal dan berjanji akan bertemu lagi.
            Setelah sampai di hotel, kesibukanku bukannya berkurang tetapi semakin bertambah. Bagaimana tidak aku harus melengkapi bahan untuk presentasiku besok pagi. Sedikit melatih logat bahasa Inggrisku yang baru beberapa bulan ini kudalami sebagai persiapan pergi ke Jepang ini. Sudah banyak telepon yang masuk ke ponselku. Kebanyakan dari keluargaku, mama, abang-abang ku, dan tak lupa sahabatku yang cerewet, Mutia. Mutia heboh ingin sekali melihat bunga sakura begitu ia mengetahui kalau pada bulan ini di Jepang sedang musim semi. Duh telat Mut, pikirku.
            Keesokan paginya, hari-hari sibuk akan menyambutku. Pagi-pagi (waktu di Jepang) aku bersiap-siap menggunakan setelan kemeja, skirt dibawah lutut, dan tak lupa blazer. Penampilan wajib para wanita karier yang identik dengan dunia metropolis. Menyiapkan semua perlengkapan dan memeastikan tak ada satupun yang tertinggal, sarapan, dan bergegas ke lobi hotel karena kendaraanku sudah menunggu. 6 hari selanjutnya akan kulalui dengan rutinitas yang sama sehingga tampak sekali waktu berjalan lambat. Jalannya tak ubahnya gerakan seekor siput.
            6 hari berlalu, tepatnya saat hari ketujuh aku di Jepang, ada pesan yang masuk keponselku. Tidak tertera nama pengirimnya, tapi kelihatan dari nomernya itu adalah nomer dengan kode negara Jepang. Siapa ya kira-kira?. Apa salah satu rekan kerjasama ku di pertemuan itu?. Aku terus menebak dalam hati, hingga kuputuskan untuk melihat isi dari pesan masuk itu. Betapa terkejutnya aku saat kubuka dan ternyata pengirim sms itu adalah Kiki. Teman perjalanan yang asyik. Kiki akhirnya menghubungiku dan mengajakku bertemu di kedai sushi didekat hotelku untuk selanjutnya kami akan pergi ke Festival Matsuri.
            Keesokan harinya, aku bangun dengan perasaan bahagia yang tiada terkira. Bagaimana tidak setelah hampir seminggu berkutat dengan laporan, presentasi, materi akhirnya aku bisa terbebas dari penderitaan itu. Karena kerjasama kami dengan perusahaan asing di Jepang berlangsung lancar dan perusahaan Jepang itu bersedia menanamkan modalnya di perusahaanku. Kabar gembira yang amat sangat kunantikan. Apalagi ditambah dengan pertemuan dengan Kiki yang sudah didepan mata, membuatku lebih semangat lagi. Aku pergi mandi sambil bersenandung riang. Setelah selesai mematut diri di depan cermin, aku pun berangkat ke lokasi tempat kami akan bertemu.
            Memasuki kedai sushi yang dipagi itu sudah disesaki pengunjung membuatku menelan ludah beberapa kali. Selain karena memang aku belum sarapan, ditambah lagi melihat animo dari pengunjung kedai ini yang membludak sudah membuatku bisa membayangkan kelezatan dari makanannya. Akhirnya aku menemukan Kiki yang sedang duduk disebuah kursi sambil memainkan ponselnya. Lantas aku segera menghampirinya dan melihat ekspresinya, ia sangat senang bertemu denganku lagi.
            “Hai” Sapaku padanya.
            “Oh hai, kukira kamu tidak datang”.
            “Ya mana mungkin aku tidak datang, sudah seminggu lebih aku menghitung hari demi bisa liburan dan mengenyahkan semua presentasi dan laporan itu”.
            Mengangguk takzim, melihatku bercerita dengan penuh semangat.
            “Kamu sudah makan?”.
            “Belum, kamu?”.
            “Belum juga, aku nunggu kamu datang”.
            “Kenapa mesti nungguin aku?”.
            “Ya supaya bisa makan sama-sama” Gugup.
            Kami memesan salmon sushi dan ocha dingin. Dua makanan yang familiar dengan telinga dan lidahku karena beberapa kali aku telah mencobanya di Surabaya. Selama makan, kami sibuk dengan makanan masing-masing. Sesekali aku atau Kiki berkomentar tentang sushi yang kami makan, bercerita tentang tempat yang akan kami kunjungi hari ini. Aku semakin kagum dengan sosok laki-laki di depanku ini. Kiki adalah tipe laki-laki dengan pemikiran dewasa namun masih dengan pembawaan yang santai, punya rasa humor yang tinggi, dan satu lagi perhatian.
            Setelah menghabiskan makanan, kami lantas pergi ke tempat diadakannya Festival Matsuri. Lokasi festival ini adalah di jalanan Tokyo. Festival ini dimeriahkan dengan parade, cosplay dari para pecinta Harajuku serta stand-stand makanan yang berjejer sepanjang jalan. Kami lagi-lagi membeli kudapan ringan untuk menemani menonton parade di Festival Matsuri. Dan tak lupa mengabadikan setiap momen dengan kamera yang dibawa Kiki dan juga ponselku.
            Setelah lelah menonton, kami memutuskan untuk pergi ke taman di dekat tempat berlangsungnya Festival Matsuri. Ketika sampai di taman tersebut, aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Bagaimana tidak, seluruh permukaannya dipenuhi dengan hamparan rumput hijau yang terawat. Bak sebuah permadani hijau yang membentang. Indah sekali. Disekelilingnya juga ada bunga berwarna warni yang terawat. Melihatku yang terkagum-kagum, Kiki hanya bisa memandangi wajahku.
            “Bagus banget tamannya” Kataku terkagum-kagum.
            “Iya, coba kamu lihat pohon dikanan kamu, itu adalah cherry blossom”.
            “Wah iya cantik........ Andaikan di Indonesia ada 4 musim, pasti kita bisa melihat pohon ini setiap tahun”.
            “Seandainya............. Tapi kamu tahu tidak mengapa di  Jepang ada 4 musim sedangkan di Indonesia hanya ada 2 musim?”.
            “Entah......” Mengangkat bahu.
            “Pergantian musim itu disebabkan oleh gerak revolusi Bumi. Gerak revolusi Bumi itu adalah gerak Bumi mengitari Matahari pada orbitnya. Di Jepang dan negara-negara di belahan Bumi utara memiliki 4 musim, yaitu musim panas, musim gugur, musim dingin, dan musim semi. Saat musim panas, pancaran sinar Matahari labih lama dibandingkan di daerah utara dibanding daerah selatan. Saat musim gugur, daerah utara akan bersuhu lebih rendah dibanding sebelumnya karena berkurangnya pancaran sinar Matahari. Saat musim dingin, siklusnya kebalikan dari musim panas. Sementara saat musim semi, daerah utara terjadi kenaikan suhu dibandingkan pada musim dingin” Terang Kiki panjang lebar.
            “Wow, kamu sepertinya sangat mengetahui hal itu, lalu untuk daerah dengan 2 musim?”.
            “Di belahan Bumi selatan yang hanya memiliki 2 musim juga terjadi karena revolusi Bumi terhadap Matahari. Pada saat mengelilingi Matahari, posisi Bumi miring sehingga hanya ada 2 pembagian musim pada 2 siklus waktu. Bulan April-September, mengalami musim kemarau, sebaliknya bulan September-April, mengalami musim hujan. Kenapa aku jadi cerita panjang lebar ya?”.
            “Tidak apa-apa, aku suka bicara sama kamu. Bisa menambah pengetahuan baru”.
            “Makasih loh, ya sudah ayo kita lanjut lihat-lihat taman ini”.
            Aku mengangguk.
            Hari-hari berikutnya, kami habiskan berdua. Mengawali hari dengan sarapan bersama, kemudian pergi mengunjungi tempat yang seru di Jepang, makan siang bersama, kembali mengelilingi Jepang, makan malam bersama, sampai-sampai mau tidur pun kami masih bercengkrama melalui ponsel. Hubungan kami pun semakin dekat, bahkan jika ada orang yang melihat kebersamaan kami, pasti menyangka kalau kami adalah sepasang kekasih. Hingga tiba dihari terakhir aku dan Kiki di Jepang. Kami sama-sama pergi ke Kyoto untuk menikmati suasana berpiknik dibawah pohon bunga sakura. Kami membeli perbekalan piknik secukupnya di suatu restoran, kemudian menghabiskannya bersama dengan keluarga lain yang sedang melakukan hal serupa. Benar, jika ada yang bilang mekarnya bunga sakura sangat ditunggu-tunggu oleh semua masyarakat Jepang. Bagaimana tidak, dengan adanya bunga ini semua keluarga akan keluar berbaur dengan keluarga lain sambil menikmati pemandangan alam lukisan Tuhan yang tiada terkira indahnya. Walaupun masa berbunga pohon sakura hanya sementara, melihat bunga sakura yang beberapa mulai berjatuhan saat tertiup angin membuat tanah seolah ditutupi salju berwarna merah muda adalah hal yang menyenangkan.
            Saat sedang asyik menikmati Hanami, tiba-tiba hal yang tak kusangka selama 2 minggu di Jepang terjadi. Dengan latar karpet merah muda dari rontokan bunga sakura dan dibawah naungan pohon sakura, Kiki tiba-tiba berdiri dan mengucapkan permohonan itu. Permohonan yang sangat romantis dan menyentuh. Kiki berjalan mendekatiku dan menggenggam tanganku seraya berkata.
            “Akira, walaupun pertemuan kita sangat singkat. Walaupun kita bertemu dalam kesempatan yang tidak disengaja, aku ingin kamu tahu bahwa selama kebersamaan kita 1 minggu ini, aku merasa nyaman dengan kamu. Aku merasa kamu adalah wanita yang baik. Jadi, maukah kamu menjadi kekasihku?”.
            Walaupun orang-orang disekitar kami tidak mengerti apa yang Kiki ucapkan karena dia berbicara dalam bahasa Indonesia, tapi semua orang sudah tahu dari ekspresi dan gerak tubuh kami berdua dan bisa menyimpulkan kalau kami sedang jatuh cinta. Setelah melihat Kiki selesai berbicara, sontak mereka berkata dalam bahasa Jepang, mungkin artinya terima, terima. Aku masih terdiam, belum sanggup mengatasi degup jantung ini yang lebih cepat dari biasanya. Dan akhirnya aku mengangguk sebagai tanda aku menerima Kiki menjadi kekasihku. Diiringi tepuk tangan dari orang-orang disekitar kami dan bunga sakura yang mulai gugur, Kiki merengkuhku kedalam pelukannya.

CERPEN (REBORN)



Perkenalkan namaku Cahaya. Aku sama seperti remaja perempuan pada umumnya, rambut panjang, tinggi dan berat badan ideal serta wajah yang bisa dibilang memenuhi standar sebagai perempuan tulen. Aku dilahirkan 18 tahun yang lalu. Tepatnya setelah peristiwa alam yang menakjubkan yaitu gerhana matahari total. Bayangan bulan bergerak menutupi permukaan bumi. Beredar informasi mengenai datangnya gerhana matahari total tepat pada pukul 12.00 WIB. Penduduk Bumi berbondong-bondong berkumpul ditempat yang dianggap strategis untuk melihat fenomena alam yang terjadi pada waktu-waktu tertentu sesuai siklusnya tersebut.
Dengan membawa kacamata hitam dan telah mengolesi kulit masing-masing dengan sunblock dari berbagai merk yang dianggap paling ampuh. Karena bisa dibilang pada masa itu produk tersebut sudah diperjual belikan dengan mengedepankan iklan di televisi. Tenang saja masa dimana aku dilahirkan sudah dikenal adanya benda yang bernama televisi bahkan sudah mulai berkembang pula benda yang bisa dibilang lebih canggih lagi yang dinamakan internet.
Saat perhatian semua orang tertuju pada peristiwa gerhana matahari total tersebut, sebaliknya semua keluargaku dirumah gelisah menunggu proses persalinan. Ayahku sendiri sudah sejak ibuku ditangani dokter yang dipanggil datang kerumah tak henti-hentinya mondar mandir karena cemas. Tak terhitung sudah berapa kali ia melakukan kegiatan itu. Sampai akhirnya suara yang amat dinantikannya sejak tadi terdengar. Ya...... itu adalah suara tangisan pertama ku di muka bumi ini. Bukan tangisan kesedihan karena akan melalui sebuah kehidupan baru ditempat yang dianggap banyak orang sebagai dunia yang kejam, melainkan tangisan kebahagiaan karena sudah berhasil terbebas dari ruangan sempit yang terisolasi dari dunia luar, yang hanya bisa melihat anggota tubuh sendiri, tak banyak warna yang dikenali, bahkan hanya mampu mendengar beberapa suara seperti detak jantung sendiri.
Sementara diluar sana ramai oleh suara orang-orang yang sedang terkagum-kagum melihat peristiwa alam itu. Gerhana matahari total benar-benar terjadi dan membuat bumi gelap beberapa saat. Setelah tangisanku mereda dan digantikan dengan suara ungkapan selamat dari seluruh anggota keluarga yang disampaikan pada ayahku, gerhana matahari total berangsur selesai. Bulan beringsut pergi meninggalkan matahari. Membuat bumi kembali disinari bintang paling besar yang panasnya terasa menyengat sampai ke ubun-ubun. Seketika orang-orang yang tadinya menonton peristiwa tersebut berhamburan masuk kedalam rumah untuk berteduh. Sejak hari itulah petualangan besar telah menanti.
Woi...... melamun saja dari tadi” Suara disebelahku tiba-tiba muncul.
Aku yang kaget karena mendengar suara itu refleks menoleh dan mendapati sahabat baik ku telah bertengger dengan cantik di sebelahku dengan memasang senyum jailnya. Sahabatku ini bernama Rere. Kami telah berteman sejak SMA dan memutuskan untuk mendaftar di Universitas yang sama dengan jurusan yang sama pula. Dan seolah kebetulan dan keberuntungan menaungi persahabatan kami, kami diterima di Universitas dan jurusan yang sama. Bahkan ditambah dengan bonus ditempatkan di satu kelas. Sehingga kemanapun aku pergi pasti dijarak beberapa meter juga ada sosok Rere. Sampai-sampai orang-orang menyebut kami kembar dempet. Misalnya saat ini, ketika aku sedang asyik-asyiknya melamun (suatu kegiatan yang jarang sekali kulakukan), muncul sosok sahabatku itu mengagetkanku dan seketika membuyarkan lamunanku tentang hari dimana aku dilahirkan. Aku ber puh pelan. Dan langsung menyemprotnya seketika itu juga.
“Kambuh deh jailnya, untung jantungku masih ada ditempatnya” Mencoba bergurau.
            “Habis kamu itu dari tadi melamun saja, sampai-sampai aku datang kamu diam saja” Memajukan bibirnya.
            “Iya...iya maaf, tadi itu aku ingat peristiwa saat aku dilahirkan dulu” Aku menjelaskan.
            “Oh.... kalau tidak salah kamu lahir tepat setelah gerhana matahari total kan?” Rere mencoba mengingat kembali cerita itu.
Aku mengangguk. Sebenarnya Rere sudah mengetahui latar belakang dibalik hari kelahiranku yang dianggap sebagian orang adalah kejadian yang langka. Saat pertama kali mengetahui hal itu dariku, ia juga bereaksi serupa bahkan sampai tak berkedip sedikit pun. Tak terasa hari sudah mulai sore. Waktunya pulang kerumah dengan membawa setumpuk tugas khas anak kuliahan. Tapi tetap saja ketika sampai dirumah, aku tidak bisa berharap bisa bersantai. Ibuku tercinta telah menunggu di teras rumah dengan membawa sapu lantai dan pel. Sambil mengucapkan salam, aku berjalan gontai masuk ke dalam rumah. Tanpa perlu mengeluarkan satu patah kata pun, aku sudah tahu maksudnya membawa benda-benda tersebut. Ya, sebagai anak yang baik dan penurut memang tugasku setiap hari adalah menyapu dan mengepel seluruh lantai di rumah.
Setelah menunaikan tugas tersebut, barulah aku bisa makan. Kemudian langsung beringsut masuk dalam kamar, memutuskan membuka-buka lagi catatan perkuliahan hari ini dan mengerjakan beberapa tugas. Tepat pukul 21.00 WIB, badanku terlalu lelah untuk bisa duduk tegak dimeja belajar. Mata pun tak kuasa menahan kantuk hingga akhirnya aku terlelap. Dan mimpi aneh itu datang. Dalam mimpi itu, aku seperti dibawa masuk kedalam sebuah dimensi lain. Tepatnya seperti aku sedang berada di luar angkasa. Dengan latar belakang langit malam yang berwarna indigo. Dihiasi dengan gemintang yang memancarkan cahaya terang. Bintang Sirius pun bersinar tak kalah terangnya. Sesekali melihat komet yang jatuh dan penduduk bumi sering menyebutnya bintang jatuh. Perlahan aku meninggalkan bumi. Menatap planet-planet di depan, venus, planet yang disebut Bintang Kejora, bergerak lagi melintasi Merkurius yang sering disebut dengan Bintang Fajar Senja. Aku berdecak kagum dengan pemandangan indah dihadapanku. Dan sampailah aku dipemberhentian terakhir pada perjalanan ini yaitu pusat tata surya kita Matahari.
Ketika aku menyentuh permukaan Matahari, tidak terasa panas bahkan secara tiba-tiba muncul sebuah pintu masuk yang berbentuk lorong. Ragu-ragu aku memasuki lorong itu. Tapi rasa ingin tahu ini mengalahkan rasa takut dan cemas yang mendadak menyergapku. Aku memasuki lorong tersebut dan sampai di sebuah tempat yang lebih mirip dengan kerajaan di negeri dongeng dibuku-buku yang kubaca saat masa kanak-kanak. Namun yang membedakan adalah tidak adanya tanaman apa pun disana. Kerajaan itu seperti berada ditengah padang pasir yang tandus. Tapi, anehnya cuaca disana hangat bukannya panas. Aku bertanya-tanya dimana saat ini aku berada, hingga aku ditemui sesosok laki-laki yang sudah berumur. Dari perawakannya, laki-laki itu seperti kakekku yang sudah renta. Hanya yang membedakan, laki-laki ini masih tampak gagah dan kuat.
            “Dimana aku?” Memberanikan diri bertanya.
            “Selamat datang di Kerajaan Surya, Yang Mulia” Sosok laki-laki tua itu bersuara sambil membungkuk memberi hormat.
            “Yang mulia?, maksudnya?” Aku terheran-heran dengan panggilan laki-laki itu.
            “Benar Yang Mulia, Yang Mulia adalah pemimpin yang sudah kami nantikan selama ini”. Laki-laki tua itu kembali berbicara.
            “Tunggu dulu!, aku sama sekali tidak mengerti apa yang kamu maksud. Dan siapa sebenarnya kamu?”.
            “Maafkan kalau aku terburu-buru Yang Mulia. Ijinkan saya memperkenalkan diri, namaku Apollo. Aku adalah penasihat di kerajaan ini. Dan saat ini, orang yang berdiri dihadapanku adalah Ratu di Kerajaan Surya ini. Kau adalah reinkarnasi dari Ratu Hemera. Sebenarnya kami sudah lama mengawasimu, dan hari ini kami memutuskan untuk menjemputmu dan mengenalkanmu dengan beberapa tempat disini” Apollo menjelaskan.
            “Bagaimana kamu sangat yakin kalau aku adalah reinkarnasi Ratu Hemera?”.
            “Yang Mulia bertanya bagaimana saya tahu?, Tentu saja aku tahu. Kau lahir tepat setelah gerhana matahari total bukan?” Apollo mencoba menebak.
            Aku terkejut, bagaimana dia bisa tahu?. Melihatku terlihat bingung, Apollo kembali menjelaskan beberapa hal penting yang sedari tadi ingin dia sampaikan.
            “Sebenarnya tujuanku membawamu kemari adalah ingin memberitahu bahwa saat ini beberapa panglima kerajaan yang tamak sedang menyusun rencana untuk menguasai Kerajaan Surya dan menjadi Raja. Diantara mereka ada dua panglima yang terkuat dan mendominasi yaitu Mithras dan Ra. Masing-masing dari mereka memiliki tiga anak buah yang setia. Dari pihak Mithras, ada Alala dengan kendaraan hewannya Griffin, Dolos dengan kendaraan hewannya Carberus, dan Fobos dengan kendaraan hewannya Lamia. Sementara dari pihak Ra ada Homados dengan kendaraan hewannya Chimaera, Apate dengan kendaraan hewannya Gorgon, dan Bia dengan kendaraan hewannya Minotaur” Apollo mengakhiri penjelasannya.
            “Baik, aku semakin tidak mengerti apa yang kamu jelaskan tadi, lantas apa hubungannya, mereka yang memperebutkan tahta itu denganku?”.
            “Begini Yang Mulia, kemungkinan besar mereka juga sudah mengawasi Yang Mulia. Yang saya takutkan, mereka akan menemui Yang Mulia di Bumi untuk diajak menjadi sekutu. Mereka tidak segan-segan melukai Yang Mulia karena saat ini Yang Mulia belum memiliki kekuatan”.
            “Lantas kalau benar hal itu akan terjadi, apa yang harus aku lakukan?” Aku bertanya cemas. Membayangkan anak buah dari Mithras dan Ra yang kejam ditambah dengan hewan kendaraan mereka membuatku bergidik ngeri.
            “Yang Mulia jangan khawatir, saya akan memberi Yang Mulia sebuah benda yang bisa digunakan disaat terdesak”.
Apollo memberi sebuah benda dengan bentuk bintang kepadaku. Bintang tersebut bersinar terang seketika mendarat ditanganku.
            “Benda apa ini?” Aku bertanya kebingungan.
            “Ini adalah Bintang Pengharapan, jika Yang Mulia merasa dikepung bahaya, acungkan saja Bintang ini dan ucapkan harapan Yang Mulia” Terang Apollo.
            “Baik, akan kuingat betul pesanmu ini” Aku mengangguk.
            “Sepertinya Yang Mulia sudah mengerti apa yang saya katakan, setelah ini Yang Mulia akan kembali ke dunia nyata. Dan satu lagi yang ingin saya sampaikan, setelah ini Yang Mulia harus merahasiakan tentang pertemuan kita ini”.
            “Baik, aku mengerti”.
Perjanjian itu telah disepakati. Perjanjian yang isinya merahasiakan perjalanan dan pertemuanku dengan Apollo. Aku kembali memasuki sebuah lorong yang kutaksir sebagai jalan keluar dari Kerajaan Surya ini. Dan beberapa saat kemudian aku terbangun dari tidurku. Dengan masih kebingungan dan mencoba mencerna setiap adegan yang kulakukan. Hingga aku menjumpai sebuah Bintang yang diberikan Apollo berada digenggamanku. Ternyata ini bukan mimpi, begitu kataku dalam hati.
Hari telah berganti. Matahari telah muncul di ufuk Timur. Menyebarkan sinar agung yang menyilaukan mata. Kokok ayam jantan telah berbunyi sejak subuh tadi mengalahkan seruan ilahi di pagi hari. Aku terbangun (lagi) dari tidurku. Karena setelah terbangun dari mimpi ke Kerajaan Surya, setelah memastikan Bintang pemberian Apollo tersimpan rapi di dalam tas kuliahku, aku pun terlelap lagi. Kemudian cekatan merapikan kamar sebelum pergi mandi karena hari ini ada kuliah pagi. Setelah semuanya siap, turun kebawah untuk menikmati sarapan bersama Ibu dan Ayah.
            “Pagi Bu” Sapaku kepada Ibu yang sedang mempersiapkan sarapan.
            “Pagi sayang. Kamu berangkat sama Ayah, Nak?”.
            “Tidak Bu, hari ini Cahaya ada kuliah pagi, kalau menunggu Ayah, bisa terlambat nanti” Aku menjelaskan.
            “Ya sudah sekarang habiskan sarapanmu”.
Ayah datang bergabung denganku dan Ibu di meja makan.
            “Pagi semua, Ayah tidak terlambat kan?”
            “Yah..... lumayan lah, rekor minggu ini”.
Seketika meja makan dipenuhi tawa dari keluarga kecilku. Jujur saja Ayahku ini adalah tipe orang yang suka berlama-lama dalam mengerjakan sesuatu. Beliau pasti memastikan semuanya sempurna sebelum pergi kemanapun. Mulai dari mengingatkan berpuluh kali untuk memastikan kompor dan kran air sudah dimatikan. Itu adalah hal kecil yang selalu kuingat saat menatap Ayahku tercinta. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan sifat Ibu. Ibu selalu menyepelekan hal yang dianggap sepele. Misalnya saja pernah suatu hari Ibu pergi ke pasar dan lupa mematikan kran air, sampai-sampai kamar mandi sudah seperti kolam renang mini.
Setelah sarapanku tandas, aku bergegas berangkat ke kampus. Tak lupa berpamitan dengan Ayah dan Ibu, sambil sekali lagi memastikan semua barang-barangku tidak ada yang tertinggal. Bersiap menunggu angkutan umum langganan di depan rumah. Angkutan umum yang ditunggu datang dan mulai membelah jalanan. Tiga puluh menit kemudian, aku sampai di kampus, berjalan sedikit ke jurusanku dan mendapati Rere telah sampai di kelas menikmati sarapan paginya.
            “Pagi Rere” Sapaku saat memasuki ruang kelas.
            “Pagi Aya, kamu nampak senang sekali hari ini, ada kejadian apa?” Memicingkan mata.
            “Tidak ada apa-apa, mungkin perasaanmu saja” Tersenyum.
Percakapanku dengan Rere terpaksa berhenti karena Dosen kami yang mengajar mata kuliah pertama pagi ini sudah datang. dan langsung menjejalkan setumpuk ilmu yang kalau diibaratkan seperti Oase di padang pasir. Sore harinya, setelah semua mata kuliah selesai dan para Dosen telah memastikan memberikan setumpuk tugas bagi para Mahasiswanya, aku dan Rere pulang bersama.
Diperjalanan pulang, saat kami sedang asyik berbincang-bincang tentang tugas yang diberikan para Dosen hari ini, muncul sesosok makhluk berkepala elang namun berbadan manusia serta terdapat sebuh bola yang mirip matahari dikepalanya. Disampingnya ada dua orang yang membawa pedang dipinggangnya dan cambuk ditangannya. Aku dan Rere sangat terkejut dan dengan nada takut aku mencoba bertanya.
            “Shsh...siapa kalian?”.
Mereka menundukkan kepala.
            “Mengapa mereka bersikap seperti itu kepadamu Aya? Apa kau kenal mereka?” Rere yang masih ketakutan bertanya.
            “Aku tidak tahu mereka siapa Re”.
Aku dan Rere tidak sempat membahasnya lebih jauh, karena orang yang membawa bola diatas kepalanya tersebut mulai berbicara.
            “Salam Yang Mulia, akhirnya kita bisa bertemu”.
            “Siapa kau?” Hardikku.
            “Perkenalkan namaku Ra, aku adalah panglima di Kerajaan Surya” Ra memperkenalkan diri.
Rere disampingku mulai mengajukan pertanyaan lagi.
            “Aya, Kerajaan Surya itu dimana, kok aku baru mendengar nama Kerajaan itu, dan mengapa orang ini menyebutmu Yang Mulia?”.
            “Aku tidak tahu Re, tolong jangan mengajukan pertanyaan yang macam-macam dulu” Ujarku.
Kembali aku bertanya kepada orang yang sedang dihadapanku.
            “Mau apa kau kemari?”
            “Langsung saja, kedatanganku menemuimu ingin menawarkan kerja sama” Tersenyum misterius.
            “Kerja sama apa maksudmu?” Aku menegaskan kalimatku.
            “Aku ingin kita menjadi sekutu untuk mengalahkan Mithras dan membuatmu duduk ditahta Kerajaan Surya” Ra melancarkan tipu muslihatnya.
            “Bagaimana kalau aku menolak?”.
            “Kalau begitu terpaksa aku harus menggunakan kekerasan!” Memberi kode kepada dua anak buahnya.
Mendadak langit berubah menjadi gelap. Dua orang yang bersama Ra dengan kecepatan kilat memegang tangan Rere dan pada menit selanjutnya Rere telah berada dibelakang Ra.
            “Kalau kamu masih ingin bertemu dengan sahabatmu ini, maka kamu harus menerima tawaranku tadi, bagaimana?”
            “Tunggu jangan macam-macam kamu dengan sahabatku” Teriakku saat Ra beringsut pergi.
            “Aku tidak mau!” Aku berteriak.
            “Aya tolong aku” Seru Rere sambil ketakutan.
            “Kalau pendirianmu masih tetap sama, jangan harap aku akan melepaskan sahabatmu ini”.
            “Tunggu......”.
Percuma, Ra dan kedua anak buahnya sudah terbang naik ke langit membawa Rere bersama mereka. Aku bingung, panik, kemana aku harus mencari pertolongan. Apa yang harus kulakukan?. Otakku buntu. Hingga tiba-tiba muncul sosok bersinar yang turun dihadapanku. Siapa lagi ini?, tanyaku dalam hati. Saat kakinya mantap berpijak di Bumi, barulah aku mnegenalinya. Dia adalah Apollo.
            “Ada apa Yang Mulia?” Apollo bertanya.
            “Untung kau datang, sahabatku dibawa oleh Ra dan anak buahnya, kurasa mereka pergi ke Kerajaan Surya” Aku menjelaskan.
            “Ternyata benar, mereka benar-benar menemui Yang Mulia” Apollo berkata mafhum.
            “Lalu, apa yang bisa kita lakukan?”.
            “Kita akan pergi ke Kerajaan Surya, Apa Yang Mulia membawa Bintang pemberianku waktu itu?”.
Aku mengangguk.
            “Kalau begitu, segera pergunakan Bintang itu untuk pergi ke Kerajaan Surya”.
Aku tergesa-gesa mengambil Bintang yang kemarin malam kuletakkan didalam tas kuliahku. Setelah menemukannya disudut terbawah tasku, langsung kukeluarkan dan kuacungkan keudara sambil berkata tempat tujuanku.
            “Kerajaan Surya sekarang!”Aku mengucapkan permohonan.
Bintang itu bersinar. Sinarnya merambat keseluruh tubuhku. Membuat tubuhku bak lentera di malam hari, sangat terang. Aku menutup mata, dan setelah kubuka mataku, ternyata aku telah berada di Kerajaan Surya. Beberapa orang menyambutku, yang kutaksir mereka adalah panglima di Kerajaan Surya. Nampak dari pakaian baja lengkap yang dikenakan serta senjata yang meliliti tubuh mereka. Serempak mereka memberi hormat kepadaku dan satu-satu mereka memperkenalkan diri. Mulai dari kiri, ada Aidos, Aletheia, Androktasiai, Arete, Eirene, Ekekheiria, dan Homonoia. Apollo menjelaskan kedatanganku ke Kerajaan Surya ini. Mereka paham dan bersedia membantu membebaskan Rere serta mengalahkan Mithras dan Ra.
Aku bersama para panglima tangguh dan Apollo menyusun strategi untuk mengalahkan pasukan-pasukan milik Mithras dan Ra. Dan Apollo memberiku sebuah baju yang sering dipakai oleh Ratu Hemera untuk berperang selama ia hidup. Setelah memakainya, muncul keajaiban berikutnya. Disekitarku ada sinar yang terang dan dikepalaku ada mahkota kecil. Didahiku juga ada gambar Matahari dan tiba-tiba aku memiliki kekuatan yang luar biasa. Semua menatap takjub kearahku, kali ini mereka sangat yakin bahwa aku benar-benar adalah reinkarnasi dari Ratu Hemera. Lantas untuk kesekian kalinya memberikan hormat kepadaku.
Keesokan harinya, kabar bahwa akan terjadi sebuah pertempuran dahsyat sudah menguar. Para pasukan dari masing-masing seteru sudah mempersiapkan diri. Dan pertempuran tersebut benar-benar meletus. Mithras dan Ra dengan gagah memimpin pasukan mereka ke medan pertempuran. Aku bersama para panglima pun tidak ingin ketinggalan. Kami serenpak maju dengan aku sebagai pemimpinnya. Kami mendapatkan lawan yang seimbang. Aku melawan Ra, sementara Apollo melawan Mithras. Pertempuran berlangsut sengit. Hingga akhirnya aku mampu mengalahkan Ra karena kekuatanku jauh diatasnya. Setelah berhasil mengalahkan Ra, aku membantu Apollo mengalahkan Mithras. Kekuatan Mithras bisa dibilang sebanding denganku. Namun tetap saja, dengan menyatukan kekuatanku dan Apollo, Mithras berhasil bertekuk lutut dan akhirnya tewas. Setelah melihat para pemimpin mereka sudah gugur, masing-masing anak buah yang terluka memukul mundur pasukan. Dengan terbunuhnya Mithras dan Ra, maka selesailah pertempuran itu dan dimenangkan oleh pihak Cahaya. Langkah selanjutnya yang harus kulakukan adalah membebaskan Rere. Ia ditawan disebuah penjara bawah tanah yang dilapisis mantra. Aku berhasil menghilangkan mantra pada penjara tersebut dan memerintahkan Apollo untuk mengeluarkan Rere. Saat melihatku Rere amat terkejut.
            “Aya, apa benar ini kau?” Tanyanya disela-sela kekagumannya.
Aku mengangguk.
            “Tapi bagaimana bisa kamu berpakaian seperti ini?, dan siapa orang-orang ini?”.
            “Sudahlah ceritanya panjang, kapan-kapan saja ku ceritakan ulang. Sekarang kita harus kembali ke Kerajaan Surya!, mari semuanya”.
Keesokan harinya, akhirnya aku dikukuhkan sebagai Ratu di Kerajaan Surya. Pertanyaan Rere setelah dibebaskan terjawab sudah. Semua orang berpesta untuk merayakan hari penobatanku. Semua orang mengelu-elukan namaku.
            “Hidup Ratu Cahaya...!” Seruan salah satu pendudukku diikuti teriakan dari yang lain.      “Yang Mulia, karena sekarang anda resmi menjadi Ratu kami, apakah anda bersedia untuk tinggal disini?”.
            Emh........ maafkan aku Apollo, kalau aku tinggal disini, bagaimana dengan kehidupanku di Bumi? Ayah dan Ibuku pasti merasa sangat kehilangan. Kau jangan khawatir, aku akan sering berkunjung kesini memastikan semua baik-baik saja. Sementara aku tidak ada, semua kekuasaan kuserahkan kepadamu”.
            “Baiklah Yang Mulia jika itu sudah diputuskan. Sebuah kehormatan bagiku bisa menjadi tangan kanan Yang Mulia”.
            “Baiklah, karena sudah bebrerapa hari aku disini, sekarang aku akan kembali ke Bumi”.
            “Baik Yang Mulia, selamat jalan” Apollo mengucapkan selamat tinggal.
            “Ayo Re, kita harus pergi sekarang!”.
            “Baik, Ratu Cahaya, aneh ya memanggilmu dengan sebutan Ratu” Sindir Rere.
            “Siapa yang menyuruhmu memanggilku Ratu, memang kalau disini aku Ratu, tapi kalau di Bumi aku adalah Cahaya, manusia biasa”.
            “Baiklah.....Aya, ayo kita pergi”.
Aku mengacungkan Bintang permohonan ke udara dan mengucapkan permohonan.
            “Kembali ke Bumi sekarang!”.
Cahaya terang memenuhi ruangan, aku dan Rere tenggelam didalamnya. Dan sampai di Bumi dengan selamat, lebih tepatnya sampai di tempat terakhir kali aku bertemu Ra. Anehnya Rere seperti tak mengingat apapun dari adegan petualangan yang sudah kami lakukan. Aku mengantarnya sampai rumah, dan kembali ke rumahku yang hangat. Sebenarnya orang tuaku cemas tapi mengetahui aku sudah pulang, mereka bernapas lega.
INILAH AKU, CAHAYA........... SANG RATU KERAJAAN SURYA.